KLIK BANER BERJALAN INI

Sebelum baca postingan BANTU KLIK IKLAN ya.....

Rabu, 16 Maret 2011

All About MLM

Saya baru saja selesai membaca buku “All About MLM”, karangan Benny Santoso (Penerbit Andi, 2002). Buku ini membahas secara komprehensif tentang berbagai aspek dalam bisnis MLM (Multi Level Marketing), baik dari sisi positif maupun negatifnya. Secara eksplisit, si penulis menyatakan bahwa ia mengambil sikap netral, alias tidak menentang maupun mendukung model bisnis MLM — tentu saja dalam artian MLM yang legal serta menjalankan bisnisnya secara sehat. Namun, seperti diakui juga oleh penulisnya, buku ini juga diilhami oleh tulisan Van Druff di website www.vandruff.com/mlm.html yang nampaknya lebih banyak menampilkan segi negatif dari bisnis MLM.

Bagi saya pribadi, isi buku ini sepertinya mewakili pandangan saya selama ini tentang bisnis MLM. Sebagaimana kebanyakan orang dengan lingkup pergaulan yang beragam, saya juga termasuk sering menerima undangan presentasi MLM. Beraneka jenis MLM pernah dipresentasikan di hadapan saya, mulai dari MLM konvensional, money game, sampai yang masuk “wilayah abu-abu”. Produk yang dijajakan juga macam-macam, mulai dari kebutuhan sehari-hari, barang-barang plastik, hingga suplemen (mineral, madu, kalsium – you name it!) dengan segala klaim tentang khasiatnya.

Gaya presentasi yang diterapkan tiap MLM juga beragam. Cara presentasi langsung face-to-face di tempat tinggal prospek adalah cara yang tergolong klasik dan sepertinya mulai ditinggalkan. Di suatu kesempatan, dalam rangka presentasi, saya pernah dibawa ke kantor sebuah MLM, di sebuah ruangan dengan deretan meja dan kursi yang ditata seperti layaknya sebuah restoran. Masing-masing meja nampak penuh dikelilingi sekumpulan orang yang serius menyimak presentasi dari calon upline masing-masing. Di perusahaan MLM lain, presentasi dilakukan di kantor mereka dalam sebuah ruangan yang mirip sebuah ruang kelas dalam suasana seperti layaknya perkuliahan (kantor MLM itu sendiri kelihatannya seperti sebuah kampus dengan ruang-ruang “kelas” dimana para istruktur terlihat sibuk bercuap-cuap mengajarkan “mata kuliah” masing-masing). Yang ajaib, ada juga MLM yang melakukan presentasi secara berkala di hotel berbintang, dan setiap hadirin diharuskan membayar tiket masuk dengan ongkos yang lumayan. Ada lagi cara yang lebih canggih. Prospek cukup dikirimi VCD rekaman presentasi dan brosur-brosur plus formulir pendaftaran yang tinggal diisi seandainya si prospek bersedia untuk bergabung.

Kembali kepada buku yang barusan saya baca. Saya setuju dengan penulis buku ini bahwa salah satu sisi negatif dari bisnis MLM adalah kecenderungan anggotanya untuk mengekspolitasi hubungan personal. Di mata para pegiat MLM, setiap orang dianggap sebagai prospek dan setiap perkumpulan dianggap sebagai pasar. Saya sendiri terus terang sudah cukup “kenyang” dengan pengalaman menjadi sasaran prospekting selama ini. Bukan kenapa-kenapa, tapi cara-cara mengundang itu bagi saya terasa kurang etis. Tidak jarang ada orang, entah teman sekantor maupun yang kebetulan pernah satu-dua kali bertemu, yang biasanya bertegur sapa saja tidak pernah, mendadak jadi sok akrab. Mulai dari mengajak berbincang, makan siang bareng, hingga akhirnya bertukar nomor telepon. Ujung-ujungnya, adalah undangan untuk menghadiri presentasi “sebuah peluang bisnis”. Di kesempatan lain, ada teman lama yang entah sudah berapa tahun tidak ketemu mendadak menelepon. Setelah saling berbasa-basi dan mengobrol kesana-kemari, akhirnya … tahu sendiri kelanjutannya. Undangan yang disampaikan dengan cara seperti ini biasanya saya tolak secara baik-baik tanpa harus khawatir soal macam-macam.

Yang susah kalau si pemrospek itu adalah teman yang sudah akrab atau sering ketemu. Dalam hal ini saya jadi merasa serba salah. Kalau saya tolak, ada kemungkinan hubungan pertemanan saya jadi terganggu, minimal ada rasa rikuh tiap kali bertemu. Di pihak lain, kalau saya bergabung dengan MLM-nya, saya juga dituntut untuk aktif mengembangkan “bisnis saya” tersebut, yang mana untuk itu saya terus terang angkat tangan. Ini belum termasuk upaya folow-up pasca presentasi yang bagi saya sering berkesan menteror. Tidak jarang dalam folow-up si pemrospek melontarkan kata-kata tajam yang mengusik rasa harga diri (“Apa kamu kepingin terus-terusan begini sepanjang hidup kamu?”).

Ada lagi satu sisi negatif MLM yang sudah menjadi rahasia umum, yaitu kecenderungan bisnis ini untuk mengeksploitasi keserakahan dan materialisme. Orang diming-imingi untuk menjadi kaya mendadak dengan mengikuti skema bisnis mereka. Semua jenis pekerjaan dianggap tidak ada artinya, dan tidak akan mampu membawa kebahagiaan. Di setiap presentasi MLM, selalu dikutip ungkapan Robert Kiyosaki dalam Cashflow Quadran — buku yang boleh dibilang sudah menjadi semacam “kitab suci” bagi pebisnis MLM. Dikatakan bahwa mereka yang berada di kuadran pekerja (employee) akan selalu mengalami nasib yang mengenaskan dan bahwa satu-satunya “jalan keselamatan” adalah memiliki bisnis sendiri (menjadi business owner). Dan cara termurah untuk menjadi business owner, ya, apa lagi kalau bukan ikutan MLM. Saya pernah dipinjami kaset berisi testimoni (kesaksian) seorang dokter yang setelah merasakan khasiat dari produk suplemen yang dijajakan oleh MLM bersangkutan lantas memilih mundur dari profesinya dan kemudian bekerja penuh waktu (fulltime) di sebuah bisnis MLM. Terus terang, saya tidak bisa membayangkan orang dengan logika seperti apa yang rela melepaskan pekerjaan yang mulia lagi terhormat dan menggantinya dengan “pekerjaan” yang hanya berkisar pada mengincar prospek, presentasi, membangun jaringan dan menjual produk. Dan herannya, tidakan seperti ini justeru mendapat aplaus dari kalangan MLM. Bagi saya sendiri, cerita semacam ini terasa (maaf) memuakkan!

Saya pribadi sebenarnya tidak apriori pada bisnis MLM sepanjang memang berjalan pada “rel” pemasaran produk. Masalahnya, kebanyakan MLM kini telah berkembang menjadi bisnis yang tidak jelas yang cenderung hanya menjual mimpi untuk memperoleh kekayaan secara cepat. Buku ini juga mencantumkan berbagai macam sisi gelap lainnya dari bisnis MLM yang tidak sempat lagi saya ulas disini. Untuk lengkapnya silahkan beli (atau pinjam) dan baca sendiri buku bersangkutan. Saya bukannya berpromosi, tapi rasanya buku ini cukup bermanfaat sebagai bahan referensi, terutama kalau kita sudah mulai didekati oleh teman-teman yang sedang prospekting . Sebagai penutup, saya ingin mengutip kata-kata bijak dari surat Gustave Flanbert kepada George Sand (keduanya adalah penulis terkenal berkebangsaan Prancis): “Manusia itu tidak berarti apa-apa. Apa yang dia kerjakan itulah yang membuatnya berarti”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar